Anak Masturbasi? Apa Yang Harus Saya Lakukan?

Posted on Kamis, 29 Oktober 2009 | 0 komentar
Pernahkah Anda terbayang menangkap basah anak, adik, atau saudara kecil Anda sedang bermasturbasi? Apa reaksi Anda? Bagaimana Anda harus bersikap? Simak artikel berikut ini.

Saudara kecil saya sering melakukan masturbasi dengan cara menggosok-gosokkan alat kelaminnya ke pegangan kursi. Ia melakukan hal itu jika dirasa tidak ada orang lain yang memperhatikannya. Sebelum tidur, ia seringkali memainkan alat kelaminnya. Orang tuanya belum melakukan tindakan apa-apa karena belum tahu bagaimana cara yang bijaksana untuk menganggapinya.

Masturbasi sering dianggap hal yang tabu dan memalukan sehingga orang yang melakukannya sering dikenakan peraturan tidak tertulis yang normatif. Masalah seksual yang tabu dibicarakan secara terbuka kepada anak membuat tanggapan orang tua seringkali tidak tepat misalnya dengan mengabaikan, memarahi, mencaci maki, atau memberi kekerasan fisik seperti dipukul. Orang tua seringkali merasa bingung apakah ini wajar dalam fase perkembangannya atau sudah memasuki gangguan seksual.

Definisi Masturbasi

Masturbasi berasal dari bahasa Latin masturbatio yang berarti pemenuhan dan pemuasan kebutuhan seksual terhadap diri sendiri dengan menggunakan tangan (manuturbomanu = tangan) (Intisari, 1999).

Menurut Alfred Kinsey, masturbasi merupakan suatu bentuk rangsangan yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh kepuasan erotik. Titik erotik pada perempuan adalah klitoris dan pada laki-laki adalah penis. Rangsangan ini tidak hanya bersifat taktil (rabaan atau sentuhan) melainkan juga berkenaan dengan masalah psikis.

Dalam perkembangan psikoseksual menurut Sigmund Freud, terdapat sebuah fase phallic yang dilewati anak pada usia tiga tahun sampai lima tahun. Erogenous zone (zona erogen) di fase ini adalah alat kelamin. Alat kelamin menjadi lebih peka terhadap stimulasi sehingga memberikan sensasi-sensasi yang nikmat bila distimulasi. Oleh karena itu, anak-anak di usia ini seringkali menstimulasi alat kelamin mereka sendiri untuk memperoleh kenikmatan (masturbasi). Frekuensi dari perilaku ini bisa terjadi satu minggu sekali hingga beberapa kali dalam sehari. Secara umum, ini terjadi ketika anak mau tidur, bosan, sedang menonton televisi, atau sedang dalam tekanan (stres). Perlu diketahui bahwa seorang anak di fase phallic yang melakukan masturbasi bukanlah didorong oleh pikiran kotor ataupun moralitas yang rendah. Mereka melakukan itu semata-mata sebagai reaksi alamiah untuk melakukan eksplorasi dan alat kelamin mereka menjadi peka.

Apa yang harus saya lakukan?

Anda tidak perlu panik seperti berteriak, memarahi, atau memukul, ketika menemukan anak Anda masturbasi. Ia sedang mengeksplorasi alat kelaminnya maka yang harus orang tua lakukan adalah mengendalikan kapan perilaku tersebut terjadi. Katakan pada anak Anda bahwa ini tidak apa-apa tapi hal yang pribadi seperti ini tidak boleh dilakukan di depan orang lain misalnya hanya boleh dilakukan di kamar. Namun orang tua perlu berhati-hati dan jangan dibiarkan begitu saja karena anak akan berpikir bahwa orang tua memperbolehkan hal yang dilakukannya.

Cara mengendalikan masturbasi lainnya adalah dengan cara mengalihkan perhatiannya. Libatkan ia dalam aktivitas yang harus menggunakan tangan misalnya bermain play dough, membuat karya dari lego, dan lainnya. Orang tua juga bisa membacakan buku sebelum tidur agar perilaku masturbasi anak menjadi teralih. Selain itu jika hal ini terjadi di sekolah, orang tua harus mengkomunikasikan kepada guru di sekolah untuk melibatkan anak secara aktif dalam proses belajar ketika perilaku tersebut muncul.

Tingkatkan kontak fisik dengan anak Anda. Beberapa anak akan mengurangi perilaku masturbasinya ketika mereka mendapatkan pelukan yang penuh afeksi dari orang tua sepanjang hari. Yakinkanlah bahwa anak Anda menerima setidaknya satu jam per hari waktu yang berkualitas bersama Anda.

Masturbasi adalah hal yang normal. Masturbasi menjadi tidak normal ketika dilakukan di tempat umum ketika mereka sudah masuk umur lima atau enam tahun. Ini bukan berarti anak Anda memiliki gangguan seksual, kecuali jika orang tua bertindak berlebihan dan membuat mastrubasi menjadi hal yang kotor dan dosa akan mempengaruhi kondisi emosional anak seperti perasaan bersalah dan sexual hang-ups.

Pacaran: Eksperimentasi Seksual

Posted on | 0 komentar

Naaak, kalo pacaran jangan lama-lama..

Pernah mendengar anjuran seperti diatas? Atau mungkin pernah mendengar anjuran lain yang tidak terlalu jauh berbeda, seperti:

Naak, kan udah pacaran lama, buruan nikah

Mungkin disatu sisi, kita akan berpikir bahwa untuk mempersiapkan diri menuju jenjang perkawinan tentunya bukan perkara mudah, tapi mungkin dua anjuran atau wejangan diatas ada benarnya.

Sebelum membahas lebih dalam, saya akan menjelaskan definisi pacaran terlebih dahulu, pacaran merupakan hubungan lawan jenis secara permanen yang dirasakan nyaman, disukai, dan berkemungkinan untuk dilanjutkan kearah pernikahan. Meskipun memiliki banyak fungsi, pacaran pada rentang usia remaja dan dewasa memiliki fungsi diantaranya untuk rekreasi, memperoleh persahabatan tanpa menikah, memperoleh status, sosialisasi, eksperimentasi seksual, serta memperoleh keintiman.

Diantara banyak fungsi tersebut, pacaran menurut Spanier (dalam Duvall & Miller, 1985) lebih erat kaitannya dengan perilaku seksual. Walaupun sempat merasa kurang yakin dengan penjelasan tersebut, fakta yang saya temui ternyata cukup mencengangkan. Artikel yang dimuat Kompas 28 Januari 2005 dengan judul ”40 % kawula muda ngeseks di rumah” mengungkap bahwa 474 remaja dengan usia 15-24 tahun yang menjadi partisipan penelitian 44 % diantaranya mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 18 tahun. Mereka yang melakukan hubungan seksual 85 % diantaranya melakukan dengan pacarnya, dan sebanyak 36 % menyatakan bahwa mereka mengenal pasangannya kurang dari enam bulan. Adapun penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta dan sekitar, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Dalam berpacaran sendiri perilaku seksual dapat dikategorikan menjadi 10 perilaku, yaitu: 1.) pegangan tangan, 2.) berangkulan, 3.) berpelukan, 4.) berciuman pipi, 5.) berciuman bibir, 6.) meraba-raba dada, 7.) meraba-raba alat kelamin, 8.) menggesek-gesekan alat kelamin, 9.) oral seks, dan 10.) sexual intercourse.

Pada umumnya, untuk mencapai sebuah tahap perilaku tertentu harus terlebih dahulu melakukan tahap sebelumnya. Sebagai contoh, untuk mencapai perilaku berciuman pipi, maka diasumsikan sebelumnya telah melakukan berpegangan tangan, berangkulan, dan berpelukan. Dalam kesehariannya, mungkin bisa dijabarkan secara sederhana bahwa dalam berpacaran biasanya individu ‘baru berani’ berpegangan tangan setelah sekian waktu. Untuk kemudian, ‘baru berani’ rangkulan atau pelukan setelah sekian lama pula. Begitu pula perilaku seksual berikutnya, ‘baru berani’ setelah waktu tertentu.

Di Indonesia sendiri, penelitian serupa pernah dilakukan Ariyanto (2008) dengan sampel mahasiswi salah satu Universitas ternama di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa diantara 138 partisipan, perilaku seksual yang paling banyak dilakukan adalah berciuman bibir dengan persentase sebesar 57 persen. Adapun waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk bisa mencapai perilaku berciuman tersebut adalah 4, 4 bulan.

Tingginya persentase berciuman, menurut Ariyanto (2008) terjadi karena masih adanya norma yang mengikat para individu untuk menjaga hubungan pacaran dalam batas yang wajar. Tidak melakukan hubungan sexual intercourse (penetrasi penis kedalam vagina)sampai mereka berada dalam hubungan pernikahan yang sah. Berciuman merupakan perilaku seksual yang, walaupun juga dilarang, tapi masih dianggap sebagai perilaku yang wajar dilakukan oleh pasangan.

Untuk perilaku seksual yang lain, meraba-raba alat kelamin dilakukan setelah 5, 6 bulan, dan oral seks dilakukan setelah 6, 2 bulan. Untuk sexual intercourse waktu rata-rata yang diperlukan adalah 10, 1 bulan dengan persentase yang melakukan sebesar 6, 5 % dari 138 partisipan.

Penelitian diatas juga menghasilkan temuan bahwa yang mempengaruhi aktivitas perilaku seksual dalam berpacaran, selain lama berpacaran, adalah frekuensi pengalaman dalam berpacaran. Sebagai contoh, seorang yang pernah berpacaran sebanyak 10 kali memiliki kecendrungan yang lebih tinggi untuk melakukan perilaku seksual lebih banyak dibandingkan orang lain yang hanya 5 kali berpacaran.

Berbagai teori yang membahas aktivitas perilaku seksual memang mencoba menjelaskan banyak alasan mengenai apa yang menyebabkan aktivitas seksual itu terjadi. Mengingat usia partisipan dalam penelitian tersebut dapat dikategorikan remaja akhir yang cukup banyak melakukan aktivitas dengan teman sebaya, maka factor tersebut tidak dapat dikesampingkan. Newcomb, Huba, and Hubler (1986) mengatakan bahwa perilaku seksual juga dipengaruhi secara positif orang teman sebaya yang juga aktif secara seksual.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai perilaku seksual dalam berpacaran, maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan perlu ditingkatkan kewaspadaan seiring dengan meningkatnya periode dan frekuensi pengalaman berpacaran.