TIAP TAHUN 15 JUTA REMAJA MELAHIRKAN

Posted on Selasa, 08 Desember 2009 | 0 komentar
Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan.


Setiap tahun, masih menurut lembar fakta tersebut, sekitar 2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia dan 20 persennya dilakukan oleh remaja.

"Dalam pengertian moral tentu kita tahu simpulan dari fakta tersebut, tapi yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah dampak dari perilaku tersebut terhadap kesehatan reproduksi remaja, terutama remaja perempuan," kata Ketua Pengurus Nasional Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Rizal Malik, di Jakarta, Jumat.

Oleh karena itu, ia melanjutkan, masalah serius itu harus mendapatkan penanganan serius oleh pemerintah maupun masyarakat.

Dekatkan akses informasi:
Langkah efektif yang harus dilakukan untuk mencegah kejadian tersebut, kata dia, adalah dengan mendekatkan akses informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi terutama kepada perempuan dan remaja.

Peningkatkan akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi tersebut, kata dia, diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan reproduksi.

"Itu penting karena dengan bekal informasi yang cukup tentu mereka dapat mengambil keputusan yang tepat tentang segala hal yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi mereka," katanya.

Sebagai organisasi masyarakat yang memiliki cabang di 249 kabupaten di 26 provinsi, kata dia, PKBI dalam hal ini juga turut berkontribusi dalam penyediaan dan penyebarluasan informasi mengenai kesehatan reproduksi bagi perempuan dan remaja.

"Kita punya klinik dan pusat kepemudaan yang menyediakan layanan kesehatan dan informasi tentang kesehatan reproduksi. PKBI juga terus mengupayakan program-program perlindungan dari praktik aborsi tidak aman bagi perempuan," tambahnya.

Sekitar 15 persen remaja usia 10 tahun hingga 24 tahun di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 62 juta, telah melakukan hubungan seksual di luar nikah.

"Fakta itu cukup memrihatinkan, tapi yang lebih mengejutkan lagi pengalaman seksual mereka rata-rata terjadi pada usia belasan tahun," katanya.

Hasil penelitian yang dilakukan PKBI di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang pada 2005 juga menunjukkan bahwa jumlah remaja yang melakukan hubungan seks diluar nikah cukup tinggi.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks dan 85 persennya melakukan hubungan seks pertama mereka pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar.

Menurut dia kondisi itu cukup mengkhawatirkan mengingat perilaku tersebut dapat menyebabkan kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) yang selanjutnya memicu praktek aborsi tidak aman. (04)

8.751 PENGIDAP AIDS BELUM TERDETEKSI

Posted on Kamis, 19 November 2009 | 0 komentar
Dari 11.000 angka estimasi (perkiraan) kasus Human Immunodeficiency Virus/Aquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Sumatera Utara, tercatat sekitar 2.429 kasus yang ditemukan selama kurun waktu 1992 – September 2009.

“Berarti masih ada 8.571 pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi,” kata Kadis Kesehatan Sumut dr. Chandra Syafei melalui Kepala Seksi Penularan Penyakit Menular Langsung, Sukarni, SKM di ruang kerjanya, Senin (9/11).

Dari 2.429 kasus HIV/AIDS yang telah ditemukan, lanjut Sukarni, dilaporkan sebanyak 1.812 kasus yang memiliki identitas secara lengkap. Selebihnya hanya berupa laporan penemuan kasus dari berbagai Klinik Voluntary Counseling dan Testing (VCT) di sejumlah rumah sakit.

Menurut Sukarni, kecilnya angka penemuan kasus HIV/AIDS di Sumut tersebut disebabkan para pengidapnya belum mengalami gejala infeksi opportunistik, sehingga belum terpanggil untuk memeriksakan diri ke klinik VCT.

Padahal, pengidap HIV/AIDS yang masih dalam masa periode jendela (window period) atau tanpa gejala ini, termasuk kelompok risiko tinggi yang berpotensi menularkan virus mematikan tersebut kepada orang lain.

Ketika memasuki fase AIDS yang ditandai dengan munculnya fase AIDS yang ditandai dengan munculnya gejala infeksi opportunistik, barulah orang-orang yang masuk termasuk dalam kelompok risiko tinggi tersebut mendatangi Klinik VCT.

Sukarni juga menambahkan, Kadis Kesehatan Sumut telah menargetkan setiap kabupaten/kota memiliki Klinik VCT pada tahun 2010 agar kasus-kasus HIV/AIDS dapat dideteksi sedini mungkin dan segera diberi terapi pengobatan Anti Retro Viral (ARV).

Saat ini, kasus HIV/AIDS terbesar di Sumut berasal dari kelompok heteroseks (863 kasus) dan pengguna narkotik suntik (706 kasus). Diperkirakan masih ada kasus HIV/AIDS dari kelompok heteroseks dan pengguna narkotik suntik yang belum terdeteksi.

Dinas Kesehatan Sumut memperkirakan ada sekitar 4.600 Pekerja Seks Komersial (PSK) Langsung yang beroperasi di berbagai daerah. Dari jumlah tersebut, 5-8 persen di antaranya terinfeksi HIV/AIDS. Sedangkan PSK Tidak Langsung sekitar 3.100 orang dan 4 persen di antaranya terinfeksi HIV/AIDS. “Dalam hal ini, PSK Tidak Langsung dimaksud adalah para wanita yang memiliki pekerjaan tetap namun masih menjalankan praktik sebagai PSK,” jelas Sukarni.

Para PSK Langsung tersebut memiliki pelanggan sebanyak 105.000 orang dan 1.700 orang di antaranya terinfeksi HIV/AIDS. Sementara PSK Tidak Langsung memiliki pelanggan 46.000 orang dan 800 diantaranya terinfeksi HIV/AIDS.

Kemudian, ada sekitar 74.000 wanita yang menjadi pasangan (istri) pelanggan PSK Langsung. Dari jumlah tersebut, 108 orang di antaranya terinfeksi HIV/AIDS. “Pasangan pelanggan PSK Tidak Langsung sebanyak 34.000 dan 125 diantaranya terinfeksi HIV/AIDS,” ujar Sukarni seraya menambahkan pengguna narkotik suntik yang diperkirakan terinfeksi HIV/AIDS mencapai 6.000 orang.


Sukarni mengingatkan, kini HIV/AIDS bukan masalah kesehatan, tetapi sudah menjadi masalah perilaku dan sosial. “Karena itu, penanggulangan HIV/AIDS tidak bisa hanya mengandalkan institusi kesehatan, tetapi perlu melibatkan berbagai lapisan masyarakat terutama kalangan keluarga pengidap HIV/AIDS itu sendiri.” ujarnya. (Waspada

Anak Masturbasi? Apa Yang Harus Saya Lakukan?

Posted on Kamis, 29 Oktober 2009 | 0 komentar
Pernahkah Anda terbayang menangkap basah anak, adik, atau saudara kecil Anda sedang bermasturbasi? Apa reaksi Anda? Bagaimana Anda harus bersikap? Simak artikel berikut ini.

Saudara kecil saya sering melakukan masturbasi dengan cara menggosok-gosokkan alat kelaminnya ke pegangan kursi. Ia melakukan hal itu jika dirasa tidak ada orang lain yang memperhatikannya. Sebelum tidur, ia seringkali memainkan alat kelaminnya. Orang tuanya belum melakukan tindakan apa-apa karena belum tahu bagaimana cara yang bijaksana untuk menganggapinya.

Masturbasi sering dianggap hal yang tabu dan memalukan sehingga orang yang melakukannya sering dikenakan peraturan tidak tertulis yang normatif. Masalah seksual yang tabu dibicarakan secara terbuka kepada anak membuat tanggapan orang tua seringkali tidak tepat misalnya dengan mengabaikan, memarahi, mencaci maki, atau memberi kekerasan fisik seperti dipukul. Orang tua seringkali merasa bingung apakah ini wajar dalam fase perkembangannya atau sudah memasuki gangguan seksual.

Definisi Masturbasi

Masturbasi berasal dari bahasa Latin masturbatio yang berarti pemenuhan dan pemuasan kebutuhan seksual terhadap diri sendiri dengan menggunakan tangan (manuturbomanu = tangan) (Intisari, 1999).

Menurut Alfred Kinsey, masturbasi merupakan suatu bentuk rangsangan yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh kepuasan erotik. Titik erotik pada perempuan adalah klitoris dan pada laki-laki adalah penis. Rangsangan ini tidak hanya bersifat taktil (rabaan atau sentuhan) melainkan juga berkenaan dengan masalah psikis.

Dalam perkembangan psikoseksual menurut Sigmund Freud, terdapat sebuah fase phallic yang dilewati anak pada usia tiga tahun sampai lima tahun. Erogenous zone (zona erogen) di fase ini adalah alat kelamin. Alat kelamin menjadi lebih peka terhadap stimulasi sehingga memberikan sensasi-sensasi yang nikmat bila distimulasi. Oleh karena itu, anak-anak di usia ini seringkali menstimulasi alat kelamin mereka sendiri untuk memperoleh kenikmatan (masturbasi). Frekuensi dari perilaku ini bisa terjadi satu minggu sekali hingga beberapa kali dalam sehari. Secara umum, ini terjadi ketika anak mau tidur, bosan, sedang menonton televisi, atau sedang dalam tekanan (stres). Perlu diketahui bahwa seorang anak di fase phallic yang melakukan masturbasi bukanlah didorong oleh pikiran kotor ataupun moralitas yang rendah. Mereka melakukan itu semata-mata sebagai reaksi alamiah untuk melakukan eksplorasi dan alat kelamin mereka menjadi peka.

Apa yang harus saya lakukan?

Anda tidak perlu panik seperti berteriak, memarahi, atau memukul, ketika menemukan anak Anda masturbasi. Ia sedang mengeksplorasi alat kelaminnya maka yang harus orang tua lakukan adalah mengendalikan kapan perilaku tersebut terjadi. Katakan pada anak Anda bahwa ini tidak apa-apa tapi hal yang pribadi seperti ini tidak boleh dilakukan di depan orang lain misalnya hanya boleh dilakukan di kamar. Namun orang tua perlu berhati-hati dan jangan dibiarkan begitu saja karena anak akan berpikir bahwa orang tua memperbolehkan hal yang dilakukannya.

Cara mengendalikan masturbasi lainnya adalah dengan cara mengalihkan perhatiannya. Libatkan ia dalam aktivitas yang harus menggunakan tangan misalnya bermain play dough, membuat karya dari lego, dan lainnya. Orang tua juga bisa membacakan buku sebelum tidur agar perilaku masturbasi anak menjadi teralih. Selain itu jika hal ini terjadi di sekolah, orang tua harus mengkomunikasikan kepada guru di sekolah untuk melibatkan anak secara aktif dalam proses belajar ketika perilaku tersebut muncul.

Tingkatkan kontak fisik dengan anak Anda. Beberapa anak akan mengurangi perilaku masturbasinya ketika mereka mendapatkan pelukan yang penuh afeksi dari orang tua sepanjang hari. Yakinkanlah bahwa anak Anda menerima setidaknya satu jam per hari waktu yang berkualitas bersama Anda.

Masturbasi adalah hal yang normal. Masturbasi menjadi tidak normal ketika dilakukan di tempat umum ketika mereka sudah masuk umur lima atau enam tahun. Ini bukan berarti anak Anda memiliki gangguan seksual, kecuali jika orang tua bertindak berlebihan dan membuat mastrubasi menjadi hal yang kotor dan dosa akan mempengaruhi kondisi emosional anak seperti perasaan bersalah dan sexual hang-ups.

Pacaran: Eksperimentasi Seksual

Posted on | 0 komentar

Naaak, kalo pacaran jangan lama-lama..

Pernah mendengar anjuran seperti diatas? Atau mungkin pernah mendengar anjuran lain yang tidak terlalu jauh berbeda, seperti:

Naak, kan udah pacaran lama, buruan nikah

Mungkin disatu sisi, kita akan berpikir bahwa untuk mempersiapkan diri menuju jenjang perkawinan tentunya bukan perkara mudah, tapi mungkin dua anjuran atau wejangan diatas ada benarnya.

Sebelum membahas lebih dalam, saya akan menjelaskan definisi pacaran terlebih dahulu, pacaran merupakan hubungan lawan jenis secara permanen yang dirasakan nyaman, disukai, dan berkemungkinan untuk dilanjutkan kearah pernikahan. Meskipun memiliki banyak fungsi, pacaran pada rentang usia remaja dan dewasa memiliki fungsi diantaranya untuk rekreasi, memperoleh persahabatan tanpa menikah, memperoleh status, sosialisasi, eksperimentasi seksual, serta memperoleh keintiman.

Diantara banyak fungsi tersebut, pacaran menurut Spanier (dalam Duvall & Miller, 1985) lebih erat kaitannya dengan perilaku seksual. Walaupun sempat merasa kurang yakin dengan penjelasan tersebut, fakta yang saya temui ternyata cukup mencengangkan. Artikel yang dimuat Kompas 28 Januari 2005 dengan judul ”40 % kawula muda ngeseks di rumah” mengungkap bahwa 474 remaja dengan usia 15-24 tahun yang menjadi partisipan penelitian 44 % diantaranya mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 18 tahun. Mereka yang melakukan hubungan seksual 85 % diantaranya melakukan dengan pacarnya, dan sebanyak 36 % menyatakan bahwa mereka mengenal pasangannya kurang dari enam bulan. Adapun penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta dan sekitar, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Dalam berpacaran sendiri perilaku seksual dapat dikategorikan menjadi 10 perilaku, yaitu: 1.) pegangan tangan, 2.) berangkulan, 3.) berpelukan, 4.) berciuman pipi, 5.) berciuman bibir, 6.) meraba-raba dada, 7.) meraba-raba alat kelamin, 8.) menggesek-gesekan alat kelamin, 9.) oral seks, dan 10.) sexual intercourse.

Pada umumnya, untuk mencapai sebuah tahap perilaku tertentu harus terlebih dahulu melakukan tahap sebelumnya. Sebagai contoh, untuk mencapai perilaku berciuman pipi, maka diasumsikan sebelumnya telah melakukan berpegangan tangan, berangkulan, dan berpelukan. Dalam kesehariannya, mungkin bisa dijabarkan secara sederhana bahwa dalam berpacaran biasanya individu ‘baru berani’ berpegangan tangan setelah sekian waktu. Untuk kemudian, ‘baru berani’ rangkulan atau pelukan setelah sekian lama pula. Begitu pula perilaku seksual berikutnya, ‘baru berani’ setelah waktu tertentu.

Di Indonesia sendiri, penelitian serupa pernah dilakukan Ariyanto (2008) dengan sampel mahasiswi salah satu Universitas ternama di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa diantara 138 partisipan, perilaku seksual yang paling banyak dilakukan adalah berciuman bibir dengan persentase sebesar 57 persen. Adapun waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk bisa mencapai perilaku berciuman tersebut adalah 4, 4 bulan.

Tingginya persentase berciuman, menurut Ariyanto (2008) terjadi karena masih adanya norma yang mengikat para individu untuk menjaga hubungan pacaran dalam batas yang wajar. Tidak melakukan hubungan sexual intercourse (penetrasi penis kedalam vagina)sampai mereka berada dalam hubungan pernikahan yang sah. Berciuman merupakan perilaku seksual yang, walaupun juga dilarang, tapi masih dianggap sebagai perilaku yang wajar dilakukan oleh pasangan.

Untuk perilaku seksual yang lain, meraba-raba alat kelamin dilakukan setelah 5, 6 bulan, dan oral seks dilakukan setelah 6, 2 bulan. Untuk sexual intercourse waktu rata-rata yang diperlukan adalah 10, 1 bulan dengan persentase yang melakukan sebesar 6, 5 % dari 138 partisipan.

Penelitian diatas juga menghasilkan temuan bahwa yang mempengaruhi aktivitas perilaku seksual dalam berpacaran, selain lama berpacaran, adalah frekuensi pengalaman dalam berpacaran. Sebagai contoh, seorang yang pernah berpacaran sebanyak 10 kali memiliki kecendrungan yang lebih tinggi untuk melakukan perilaku seksual lebih banyak dibandingkan orang lain yang hanya 5 kali berpacaran.

Berbagai teori yang membahas aktivitas perilaku seksual memang mencoba menjelaskan banyak alasan mengenai apa yang menyebabkan aktivitas seksual itu terjadi. Mengingat usia partisipan dalam penelitian tersebut dapat dikategorikan remaja akhir yang cukup banyak melakukan aktivitas dengan teman sebaya, maka factor tersebut tidak dapat dikesampingkan. Newcomb, Huba, and Hubler (1986) mengatakan bahwa perilaku seksual juga dipengaruhi secara positif orang teman sebaya yang juga aktif secara seksual.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai perilaku seksual dalam berpacaran, maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan perlu ditingkatkan kewaspadaan seiring dengan meningkatnya periode dan frekuensi pengalaman berpacaran.

15% PENGIDAP HIV/AIDS DI MEDAN USIA SEKOLAH

Posted on Senin, 28 September 2009 | 0 komentar
Medan (Waspada 1Desember 2008). Terhitung sejak tahun 2004 hingga Oktober 2008 telah ditemukan sebanyak 630-an kasus HIV/AIDS di Kota Medan. Dari jumlah tersebut 15% pengidap HIV/AIDS tergolong usia sekolah.

Demikian dikatakan Kadis Kesehatan Kota Medan Dr.Umar Zein,TM&H, SpPD-KPTI kepada Waspada di Medan, minggu (30/11) malam, menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2008 dengan Tema Internasional “Kepemimpinan” dan Subtema Nasional “Yang Muda Yang Membuat Perubahan”.

Menurut Umar Zein, pangidap HIV/AIDS usia sekolah tersebut umumnya masih duduk dibangku SMA. Faktor risiko penularan HIV/AIDS dikalangan anak usia sekolah ini adalah NARKOTIK SUNTIK.

Sedangkan jumlah pengidap HIV/AIDS terbesar berusia 20-40 tahun dengan persentase 60%. Beberapa diantara pengidap HIV/AIDS yang masuk katagori usia produktif ini tercatat sebagai pegawai swasta, pegawai Negeri Sipil(PNS) dan lain-lain.
Selebihnya (25%) merupakan kelompok IBU RUMAH TANGGA, ANAK-ANAK DAN BALITA. “Secara keseluruhan, pengidap HIV/AIDS ini didominasi kelompok heteroseksual dan pengguna narkotik suntik”. ujarnya.

Umar Zein menilai, penanganan HIV/AIDS di Medan hingga saat ini masih belum tertata dengan baik. Pasalnya, belum terlihat koordinasi antar lembaga baik kalangan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli HIV/AIDS.

Buktinya, Dinas Kesehatan Kota tidak pernah mendapat laporan berbagai kegiatan dari sejumlah lembaga-lembaga tersebut sehingga terkesan berjalan sendiri-sendiri.

Padahal, lanjut Umar Zein, penanganan HIV/AIDS akan lebih baik jika dilakukan secara bersama-sama dalam satu sistem yang tertata apik. Dengan demikian berbagai faktor risiko seperti hubungan seks tidak aman serta penyalahgunaan narkoba hingga penemuan kasus dan dilanjutkan dengan perawatan bisa berjalan sesuai harapan.

Karena itu, penanggulangan HIV/AIDS di Kota Medan perlu menjadi komitmen semua pihak baik dari instansi pemerintah, lembaga yang peduli HIV/AIDS, tokoh agama, pemuda dan adat serta unsur masyarakat lainnya.
“ Jangan sampai terjadi kesalah fahaman terhadap program sosialisasi kondom sebagai salah satu cara pencegahan penularan HIV/AIDS”, demikian Umar Zein.

Remaja Dalam Data

Posted on Rabu, 25 Februari 2009 | 0 komentar
67% yang berusia di bawah 24 tahun pernah melakukan hubungan seksual pranikah” demikian ungkap Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto dari Jakarta yang ikut sharing dalam pleno hari pertama menyebutkan hasil penelitian yang dilakukan oleh DKT Indonesia di Surabaya, Medan, Jakarta dan Bandung. Kemudian juga disebutkan sebuah studi tahun 2001 di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan Tasikmalaya yang menunjukkan hasil sebanyak 17% remaja usia sekolah telah melakukan hubungan seksual. Hal ini agak serupa dengan hasil yang didapatkan oleh KISARA, dalam survey terbaru di Denpasar, Badung, Tabanan, Singaraja dan Gianyar yang menyebutkan bahwa 2 dari 10 remaja usia sekolah sudah melakukan aktivitas seksual. Selanjutnya menurut penelitian Pusat Studi Kesehatan UI disebutkan 30% kasus aborsi dilakukan oleh remaja. Sampai dengan akhir tahun 2004, Depkes mencatat lebih dari 505 dari total pengidap HIV positif yang tercatat di Indonesia adalah orang muda. Dan kita semua mengetahui bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas, kesehatan reproduksi termasuk juga HIV/AIDS dan narkoba masih sangat minim, ini tentunya juga disebabkan karena terbatasnya akses informasi dan lemahnya advokasi remaja.

Remaja Juga Rentan Terkena HIV/ AIDS

Posted on Selasa, 06 Januari 2009 | 0 komentar
Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987, angka pertumbuhan pengidap HIV/AIDS enggak kunjung turun. Yang lebih mencengangkan, ternyata remaja selalu menempati ranking pertama sebagai kelompok terbesar pengidap HIV/AIDS dibandingkan dengan kelompok usia lain.
Bagi kita yang tergolong rentan tertular HIV/AIDS seperti berita di atas, tentu akan bertanya-tanya, Kenapa harus kita yang remaja? Jawaban pertanyaan tersebut sederhana saja, tapi enggak sederhana upaya penanganannya.
Selama ini, banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa banyak tingkah laku atau perbuatan kita yang sangat berisiko tertular HIV/AIDS. Misalnya saja seks di luar nikah. Masih banyak di antara kita yang berpandangan bahwa seksualitas hanya masalah perawan atau enggak perawan. Padahal, hubungan seks di luar nikah cukup besar risikonya untuk menjadi hubungan seks yang enggak aman meskipun dilakukan dengan pacar sendiri.
Hubungan seks yang enggak aman bisa menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). KTD sendiri kelak bisa menimbulkan masalah lain, baik fisik, sosial, maupun mental. Risiko lain dari hubungan seks seperti ini adalah terkena infeksi menular seksual (IMS) yang dapat menyebabkan kemandulan dan makin membuat kita rentan terhadap HIV/AIDS.
Ketidaktahuan kita terhadap perilaku kita sendiri yang berisiko tertular HIV/AIDS inilah yang justru memicu kemungkinan untuk tertular dan bahkan menyebarkan HIV/AIDS di kalangan teman-teman kita. Meskipun begitu, kita memang bukan satu-satunya pihak yang dianggap paling bersalah.